Senin, 10 Juni 2019

FINTECH SYARIAH



ANALISIS FATWA DSN MUI NO: 117/DSN-MUI/II/2018 TENTANG LAYANAN PEMBIAYAAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH (FINTECH SYARIAH) DENGAN PENDEKATAN MAQHASID

Muhammad Robby Kaharudin
Nim: 1806022013
S2 Ekonomi Syariah UIN Raden Fatah Palembang

Abstract
Financial technology atau fintech adalah industri keuagan yang saat ini sedang berkembang di masyarakat Indonesia. Faktor tersebut didorong karena kondisi perkembangan digital didunia yang telah masuk pada era Society 4.0. Financial technology memiliki kegiatan yang berfokus pada penyediaan gagasan layanan keuangan menggunakan perangkat lunak. Ini merupakan inovasi baru dan dampaknya terhadap semua kegiatan ekonomi, terutama dalam ekonomi Islam.
Adapun Fintech Syariah, tentu saja harus didasarkan pada perspektif Islam dan merujuk ke Maqashid Syari'ah dan berisi manfaat untuk setiap transaksi yang dilakukan oleh kontraktor. Fatwa DSN MUI No: 117/DSN-MUI/II/2018 merupakan pedoman yang diberikan pemerintah dalam upaya memberikan arahan kepada pelaku fintech dalam mengimplementasikan kegiatannya. Semua bentuk transaksi ekonomi dan bisnis yang berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah jelas, memperhatikan dan melindungi hak-hak setiap individu untuk menegakkan keadilan dan menghilangkan ketidakadilan dalam bertransaksi melalui fintech syariah.
Kata kunci:  Fintech Syariah, Maqashid Syari‟ah, DSN MUI No:117


Pendahuluan
Era globalisasi yang semakin maju saat ini, mempengaruhi banyak hal dari berbagai aspek kehidupan, baik dari aspek teknologi, sosial, politik maupun ekonomi. Saat ini teknologi merupakan salah satu aspek yang sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia banyak kemudahan yang bisa di akses dengan menggunakan teknologi. Perkembangan teknologi informasi tersebut merupakan peluang besar bagi seluruh industri keuangan dalam melakukan inovasi demi menjaga eksistensi perusahaan.
 Salah satu sektor industri keuangan yang saat ini berkembang yaitu finansial technology atau lebih dikenal dengan istilah fintech yang merupakan inovasi terbaru masa kini. Menurut (IOSCO, 2017) Teknologi Finansial adalah bisnis yang berfokus pada penyedia gagasan jasa finansial yang menggunakan perangkat lunak dan modern. Sedangkan menurut (Wonglimpiyarat, 2017) Fintech telah mendapat perhatian secara global sebagai teknologi menantang yang akan memberdayakan perusahaan untuk bersaing dengan efektif pada abad dua puluh satu saat ini.
Fintech berhasil merubah keberadaan suatu pasar yang sudah eksis dengan cara menawarkan kepraktisan, kemudahan akses, kenyamanan, lebih efektif serta efisien dalam melakukan transaksi.  Pelayanan atau jasa fintech diselenggarakan dengan serba elektronik, sehingga bagi masyarakat yang sudah melek teknologi dan terbiasa dengan alat-alat serba canggih serta di sisi lain memiliki aktivitas yang padat akan terfasilitasi dengan adanya fintech.
Seiring perkembangan fintech saat ini, maka penerapannya dalam fiqh muamalah menurut perspektif Islam harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, yang terhindar dari Maysir, Gharar dan Riba. Selain itu, meskipun kegiatan tersebut menggunakan sistem teknologi maka prinsip-prinsip hukum ekonomi Islam harus tetap ditegakkan. Demi menjaga keberlangsung Fintech agar sesuai dengan hukum ekonomi Islam, DSN MUI (Dewan Syariah Nasional Majelis ulama indonesia) mengeluarkan FATWA DSN MUI NO: 117/DSN-MUI/II/2018 TENTANG LAYANAN PEMBIAYAAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH.
Untuk itu, dalam penulisan ini penulis berupaya untuk melakukan analisa terhadap Fatwa tersebut dengan menggunakan Pendekatan maqashid syariah dan ushul fiqh sebagai landasan utama dalam menentukan ijtihad hukum pada industri keuangan fintech.

Pengertian Fintech secara Umum dan  Syariah
Pengertian finansial teknologi menurut PwC (2017) fintech adalah segmen dinamis di persimpangan antara sektor jasa keuangan dengan teknologi dimana start up yang berfokus pada teknologi dan merupakan pendatang pasar baru berinovasi produk dan layanan yang saat ini disediakan oleh industri jasa keuangan tradisional. Adapun pengertian lain dari fintech mengacu pada penggunaan teknologi untuk memberikan solusi dalam sektor keuangan (Arner, 2016) .
Pengertian Fintech Syariah menurut Mukhlisin (2017) adalah kombinasi, inovasi  yang ada dalam bidang keuangan dan teknologi yang memudahkan proses transaksi dan investasi berdasarkan nilai-nilai syariah. Ia berpendapat, walaupun fintech ini merupakan terobosan baru tetapi mengalami perkembangan yang pesat. Islam merupakan agama yang komprehensif sehingga dalam bidang keuangan ini harus memiliki aturan yang sesuai dengan prinsipnya sesuai syariah.


Mekanisme dan akad layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi berdasarkan Fatwa DSN MUI No: 117/ DSN-MUI/II/2018
1. Pembiayaan Anjak Piutang (Factoring)
a. Adanya akad yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang yang ditunjukkan dengan bukti tagihan (invoice) oleh calon Penerima Pembiayaan dari pihak ketiga (payor) yang menjadi dasar jasa dan/ataupembiayaan anjak piutang;
b. Calon Penerima pembiayaan atas dasar bukti tagihan (invoice) yang dimiliki, mengajukan jasa dan/atau pembiayaan kepada Penyelenggara;
c. Penyelenggara menawarkan kepada calon Pemberi Pembiayaan untuk memberikan jasa penagihan piutang berdasarkan bukti tagihan (invoice), baik disertai atau tanpa disertai talangan (qardh);
d. Dalam hal calon Pemberi jasa dan/atau pembiayaan menyetujui penawaran sebagaimana huruf c, dilakukan akod wakalah bi alujrah antara Pemberi Pembiayaan dengan Penyelenggara; Pemberi Pembiayaan sebagai muwakkil, dan Penyelenggara sebagai wakil;
e. Penyelenggara melakukan akad wakalah bi al-ujrah dengan Penerima Pembiayaan untuk penagihan utang; Penyelanggara sebagai wakil, dan Penerima Pembiayaan sebagai muwakkil;
f. Penyelenggara sebagai wakil dari Pemberi Pembiayaar dapat memberikan talangan dana dengan akad qardh kepada Penerima Pembiayaan/Jasa;
g. Penyelenggara melakukan penagihan kepada pihak ketiga (payor) atas piutang Penerima Pembiayaan;
h. Penerima Pembiayaan membayar ujrah kepada Penyelenggara;
i. Penerima pembiayaan membayar utang qardh fiika ada) kepada Penyelenggara sebagai wakil;
j. Penyelenggara wajib menyerahkan ujrah dan qardh (ika ada) kepada Pemberi Pembiayaan.
2. Pembiayaan Pengadaan Barang Pesanan (Purchase Orde) Pihak Ketiga
a. Adanya akad yang menimbulkan hubungan purchase order yang dibuktikan dengan kontrak pengadaan barang antara calon Penerima Pembiayaan dengan pihak ketiga yang menjadi dasar pembiayaan;
b. Calon Penerima pembiayaan atas dasar purchase order dari pihak ketiga, mengajukan pembiayaan pengadaan barang kepada Penyelenggara;
c. Atas dasar pengajuan pembiayaan sebagaimana huruf b, Penyelenggara melakukan penawaran kepada calon Pemberi Pembiayaan untuk membiayai pengadaan barung;
d. Dalam hal calon Pemberi Pembiayaan menyetujui penawaran sebagaimana huruf c, dilakukan aknd wakalah bi al-ujrah antara Penyelenggara dengan Pemberi Pembiayaan untuk melakukan akad pembiayaan kepada Penerima Pembiayaan; Pemberi Pembiayaan sebagai mrwakkil dan Penyelenggara sebagai wakil;
e. Penyelenggara melakukan pembiayaan dengan Penerima Pembiayaan berdasarkan akad jual-beli, musyarakah, atan mudharabah.
f. Penerima Pembiayaan membayar pokok dan imbal hasil (margin atau bagi hasil) sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
g. Penyelenggara wajib menyerahkan pokok dan imbal hasil (margin atau bagi hasil) kepada Pemberi Pembiayaan.


3. Pembiayaan Pengadaan Barang untuk Pelaku Usaha yang Berjualan Secara Online (Seller Online)
a. Penyediaan layanan perdagangan berbasis teknologi informasi (platfurm e-commerce/marketplace) dan Penyelenggara melakukan kerjasama pemberian pembiayaan kepada pelaku usaha yang berjualan secara online (seller online) sebagai calon Penerima Pembiayaan;
b. Calon Penerima Pembiayaan mengajukan pembiayaan kepada Penyelenggara untuk pengadaan barang;
c. Atas dasar pengajuan pembiayaan pada huruf b, Penyelenggara melakukan penawaran kepada calon Pemberi Pembiayaan untuk membiayai pengadaan barang;
d. Dalam hal calon Pemberi Pembiayaan menyetujui penawaran sebagaimana huruf c, dilakukan akad wakalah bi al-ujrah antara Penyelenggaru dengan Pemberi Pembiayaan untuk melakukan akad pembiayaan dengan Penerima Pembiayaan; Pemberi Pembiayaan sebagai muwakkil dan Penyelenggara sebagai wakil;
e. Penyelenggara melakukan pembiayaan dengan Penerima Pembiayaan berdasarkan akad jual-beli, musyarakah, atau mudharabah;
f. Penerima Pembiayaan membayar pokok dan imbal hasil (margin atau bagi hasil) sesuai dengan kesepakatan dalam akad; dan
g. Penyelenggara wajib menyerahkan pokok dan imbal hasil (margin atau bagi hasil) kepada Pemberi Pembiayaan.
4. Pembiayaan Pengadaan Barang untuk Pelaku Usaha yang Berjualan Secara Online dengan Pembayaran Melalui Penyeleng gara Payment Gateway
a. Penyedia jasa otorisasi pembayaran secara online (payment gateway) dan Penyelenggara melakukan kerjasama pemberian pembiayaan kepada para Pedagang online (Seller Online) yang bekerjasama dengan Penyedia jasa;
b. Pedagang online (Seller Online) atau calon Penerima Pembiayaan mengajukan pembiayaan kepada Penyelenggara untuk pengadaan barang;
c. Atas dasar pengajuan pembiayaan pada huruf b, Penyelenggaru melakukan penawaran kepada calon Pemberi Pembiayaan untuk membiayai pengadaan barang;
d. Dalam hal calon Pemberi Pembiayaan menyetujui penawaran sebagaimana huruf c, dilakukan akad wakalah bi al-ujrah antara Penyelenggara dengan Pemberi Pembiayaan untuk melakukan akad pembiayaan dengan Penerima Pembiayaan; Pemberi Pembiayaan sebagai muwakkil dan Penyelenggara sebagai wakil;
e. Penyelenggara sebagai wakil dari Pemberi Pembiayaan, memberikan pembiayaan kepada Penerima Pembiayaan dengan meng gunakan akad jual- beli, musyarakah, atau mudharabah ;
f. Penerima pembiayaan membayar pokok dan imbal hasil (margin atau bagi hasil) melalui Perusahaan Penyedia jasa otorisasi pembayaran secara online (payment gateway) yang bekerjasama dengan Penyelenggara;
g. Penyelenggara wajib menyerahkan pokok dan imbal hasil (margin atau bagi hasil) kepada Pemberi Pembiayaan.
5. Pembiayaan untuk Pegawai (Employee)
a. Adanya pegawai/calon Penerima Pembiayaan yang mendapatkan gaji tetap dari suatu institusi yang bekerjasama dengan Penyelenggara;
b. Calon Penerima pembiayaan yang memiliki kebutuhan konsumtif, mengaj ukan pembiayaan kepada Penyelenggara;
c. Atas dasar pengajuan sebagaimana huruf b, Penyelenggara menawarkan kepada calon Pemberi Pembiayaan untuk membiayai kebutuhan konsumtif calon Penerima Pembi ay aan;
d. Dalam hal calon Pemberi pembiayaan menyetujui penawaran sebagaimana huruf c, dilakukan akadwokalah bi al-ujrah arfiara Pemberi Pembiayaan dengan Penyelenggara untuk melakukan pembiayaan dengan Penerima Pembiayaan; Pemberi Pembiayaan sebagai muwakkil, dan Penyelenggara sebagai wakil;
e. Penyelenggara sebagai wakil dari Pemberi Pembiayaan, melakukan akad jual-beli atau ijarah dengan Penerima Pembiayaan sesuai kesepakatan;
f. Penerima Pembiayaan membayar pokok dan imbal hasil (margin atau ujrah) kepada Penyelenggara dengan cara pemotongan gajilauto debet;
g. Penyelenggara wajib menyerahkan pokok dan imbal hasil (margin atau ujrah) kepada Pemberi Pembiayaan.
6. Pembiayaan Berbasis Komunitas (Community Based)
a. Adanya pelaku usaha/calon Penerima Pembiayaan yang tergabung dalam komunitas usaha tertentu yang bekerjasama dengan Penyelenggara;
b. Calon Penerima Pembiayaan yang memiliki kebutuhan modal usaha, mengajukan pembiayaan kepada Penyelenggara;
c. Atas dasar pengajuan sebagaimana huruf b, Penyelenggara menawarkan kepada calon Pemberi Pembiayaan untuk membiayai kebutuhan modal calon Penerima Pembiayaan;
d. Dalam hal calon Pemberi Pembiayaan menyetujui penawaran sebagaimana huruf c, dilakukan akadwakalah bi al-ujrah antara Pemberi Pembiayaan dengan Penyelenggara untuk memberikan pembiayaan kepada Penerima Pembiayaan;
e. Pemberi Pembiayaan sebagai muwakkil, dan Penyelenggara sebagai wakil. e. Penyelenggara sebagai wakil dari Pemberi Pembiayaan, melakukan akad dengan Penerima Pembiayaan baik akad jualbeli, ijarah, musyarakah, mudharabah, atau akad-akad lain yang sesuai dengan prinsip syariah;
f. Penerima pembiayaan membayar pokok dan imbal hasil (margin, ujrah, atau bagi hasil) kepada Penyelenggara melalui komunitas usaha tertentu yang bekerjasama dengan Penyelenggara;
g. Penyelenggara wajib menyerahkan pokok dan imbal hasil (margin atau ujrah) kepada Pemberi Pembiayaan.

Pengertian Maqhasid Syariah
Maqashid adalah bentuk plural dari maqashad, qasdh, maqashid  atau qashud yang merupakan derivasi dari kata kerja (qashada yaqshidu) dengan beragam makna seperti menuju suatu arah, tujuan tengah-tengah  adil dan tidak melampaui batas. Sementara itu, makna dari syari’ah  secara etimologis merupakan jalan menuju mata air, alam terminology fiqh berarti hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah untuk hamba-Nya, baik yang ditetapkan melalui Al-qur’an maupun Sunnah Nabi Muhammad shallahualaihi wa sallam yang berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan Nabi. Adapun definisi secara singkat dan umum,  yang dikutip dari buku karya Imam Mawardi dalam bukunya Fiqh Minoritas Fiqh Al- Aqaliyyat dan Evolusi Maqashid Al-Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan, Al Rasyuni menyatakan bahwa syari’ah bermakna sejumlah hukum ‘amaliyyah yang dibawa oleh agama Islam, baik yang dibawa dalam konsepsi aqidah maupun hukumnya. Adapun dari variasi definisi yang disebutkan oleh ulama klasik tersebut mengindikasikan bahwa terdapat kaitan erat maqashid alsyari’ah dengan hikmah, illat, tujuan atau niat dan kemaslahatan. Imam al Ghazali merupakan salah satu ulama klasik yang mendefinisikan  bahwa “Maslahah adalah sebuah istilah yang pada intinya merupakan keadaan yang mendatangkan manfaat dan menolak bahaya atau kerugian. Yang kami maksudkan maqashid al-syari’ah sebenarnya bukan ini, karena mendatangkan manfaat dan menolak kerugian adalah tujuan dari makhluk. Kebaikan dari makhluk adalah menggapai tujuan-tujuannya. Yang kami maksudkan dengan maslahah disini adalah menjaga tujuan syara’. Tujuan syara’ untuk maklhuk ada lima, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka”.
Salah satu kajian istimewa mengenai maqashid al-syari’ah sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Ghazali karena keberhasilannya menjabarkan aspek dharuriyyat menjadi aldharuriyyat al-khams, yang tanpanya maslahah dinyatakan tidak ada. Ia merupakan orang pertama yang memberikan nama al-dharuriyyat alkhams, menjelaskan secara memadai dan menyusunnya dengan urutan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta sebagai hal-hal yang dilindungi oleh Islam. Kitabnya yang berjudul al-Mustasyfa fi „ilm al-Ushul menjelaskan tentang hal ini. Penjelasannya yang lengkap mengenai konsep mashlahah dan prinsip-prinsip teoritis hukum Islam, al-Ghazali dikukuhkan dalam sejarah ushul al-fiqh sebagai peletak dasar ilmu ushul al- fiqh. Sementara itu al-Amidi merupakan orang pertama yang menguji susunan al-dharuriyyat al-khams tersebut dan mengambil “keturunan” sebelum “akal” seperti yang ditulis dalam al-Ihkam fi ushul alAhkam.  Selain menjaga agama, menjaga jiwa juga merupakan hal yang harus diterapkan dalam transaksi ekonomi. Hal itu berarti segala bentuk transaksi yang dapat menyakiti fisik dan psikis manusia harus dihindari demi keselamatan jiwa manusia. Apabila hal tersebut mendatangkan kemudharatan maka lebih baik ditinggalkan. Upaya demikian adalah sebagai bentuk tanggung jawab terhadap menjaga jiwa (hifdz an-nafs) yang dibebankan kepada setiap individu termasuk masyarakat.
Perintah menjaga jiwa telah Allah tuliskan didalam Al-Qur’an bisnis tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena peran penting tersebut demi tercapainya kemaslahatan. Nilai agama yang terdapat dalam ekonomi yaitu dicerminkan dengan adanya halal dan haram yang harus diperhatikan. Misalnya, akad tijarah adalah muamalah yang halal, akad utang piutang dengan riba adalah muamalat yang haram. Akad  yang pada dasarnya halal bisa menjadi haram apabila dalam transaksi tersebut terdapat keharama seperti, mengandung unsur-unsur penipuan, mengandung khamr, disini menetapkan yang terdapat dalam QS.Al-Quraisy:3-4). “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini Ka’bah. Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”. Tujuan pemeliharaan yang selanjutnya yaitu menjaga keturunan. Maksud dari menjaga keturunan dalam hal ini yaitu menjaga generasi masa depan agar senantiasa berkesinambungan. Upaya menjaga keturunan tersebut antara lain sebagaimana terdapat dalam Hadits Rosulullah Shallalahu alaihi wa salam “Hampir saja kemiskinan (kemiskinan jiwa dan hati) berubah menjadi kekufuran”. (HR.Ath-Thabrani)
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (QS.An-Nisa:5) Orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya termasuk dalam golongan orang yang belum sempurna akalnya sebagaimana orang yang belum baligh dan juga anak kecil. Sehingga mereka tidak dapat mengelola harta bendanya dengan baik. Dengan demikian, hukum mengatur semua itu dibingkai hifzh al-aql dalam ranah ekonomi syariah. Menjaga harta merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh seseorang dalam mencapai maqasid syariah. Memiliki harta berupa mobil, rumah dan perabotan rumah merupakan hak manusia terhadap penjagaan terhadap harta. Sehingga dengan upaya menjaga harta tersebut terdapat banyak cara dalam mendapatkannya. Adapun cara yang didapatkan tersebut melalui cara halal ataupun haram. Harta dibagi dalam lima kategori sehingga menjadikan hukum atas benda tersebut. Adapun harta yang diperoleh dengan jalan yang halal serta dibelanjakan dijalan yang halal, maka harta tersebut harta yang baik. Kedua harta tersebut diperoleh dengan jalan yang haram lalu dibelanjakan dijalan yang haram juga maka itu termasuk seburukburuknya harta. Ketiga, harta tersebut diperoleh dengan jalan yang haram dan dibelanjakan pada jalan yang halal, maka harta tersebut termasuk dalam harta yang haram. Keempat, harta tersebut diperoleh dengan jalan yang halal namun dibelanjakan pada jalan yang haram, maka harta tersebut termasuk harta yang buruk. Kelima, harta tersebut diperoleh dengan cara yang mubah dan dibelanjakan pada jalan yang mubah pula, maka harta tersebut tidak tergolong dalam kategori baik atau buruk, namun dari transaksi tersebut tidak menguntungkan ataupun tidak menimbulkan dosa atasnya.

Fintech dan hubungannya dengan Maqhosid Syariah
Implementasi yang dilakukan beberapa Fintech konvensional pada awal tahun 2017 lalu, memberikan kesan negatif kepada seluruh masyarakat indonesia terutama pada nasabah (debitur). Karna beberapa nasabah yang mengalami kredit macet, di perlakukan tidak baik oleh beberapa fintech konvensional yang ada di indonesia. Perlakuan buruk tersebut dilakukan oleh pihak fintech melalui cara-cara penagihan hutang yang tidak wajar, mulai dari mempermalukan nasabah (debitur) dengan cara memberitakan hutang nasabah kepada teman-teman nasabah di akun media sosial milik nasabah (debitur) sampai dengan cara ancam-ancaman. Perlakukan tersebut sangat tidak wajar, karena telah mempermalukan nasabah sehingga itu bisa disebut dengan perlakukan kekerasan psikis kepada nasabah. Dalam Maqhosid Syariah salah satu pilar yang perlu dilarang adalah cara-cara merusak jiwa (Hifzun nafs) nasabah dengan cara-cara yang tidak wajar.  
Latar belakang diatas lah pada akhirnya membuat DSN MUI mengeluarkan Fatwa  No: 117/DSN-MUI/II/2018 Tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah. Fatwa tersebut mengatur semua mekanisme Fintech yang kemudian menjadi pedmoman bagi lembaga fintech syariah .
Transaksi yang sesuai dengan syariat Islam tentunya yang berlandaskan dari Al-Qur’an dan Hadits. Segala bentuk perekonomian dan transaksi bisnis menurut ajaran Islam yang bersumber dari AlQur’an dan Sunnah adalah untuk memperhatikan hak individu yang harus terlindungi sekaligus untuk menegakkan rasa solidaritas yang tinggi terhadap masyarakat  (A, 2013).
Pada dasarnya akad yang terdapat dalam fintech Syariah tidak bertentangan selagi tidak melanggar prinsip syariah. Selain itu, fintech merujuk kepada salah satu asas muamalah yaitu an-taradhin yang memiliki arti saling ridho diantara keduanya. Asas inilah yang menjadi bagian terpenting atas sah nya suatu transaksi (Darsono dkk, 2016).
Menurut Aswad (2013) lembaga keuangan syariah yang mana harus mendasasi operasionalnya dengan prinsip syariah terhadap larangan atas riba, gharar dan maysir sehingga lebih menggiatkan kepada sistem bagi hasil (profit and lose sharing) sebagai penggantinya. Para pakar muslim sudah banyak yang menjelaskan bahwa landasan bunga (interest) sangat dilarang karena dapat menimbulkan terjadinya ketidakadilan (injustice) dalam tatanan ekonomi masyarakat. Sebaliknya, lembaga ekonomi syariah secara konsepsional didasarkan atas prinsip kemitraan berdasarkan kesetaraan (equity), keadilan (fairness), kejujuran (transparan), dan hanya mencari keuntungan yang halal semata (falah oriented).

Kesimpulan 
Berdasarkan hasil pembahasan ini, dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan fintech yang berbasis syariah yang juga merupakan inovasi teknologi yang sesuai dengan ketentuan syariah serta menjadi solusi untuk dapat terhidar dari transaksi ribawi. Mengaplikasikan fintech syariah ini merupakan suatu tindakan bahwa kita sebagai umat Islam harus berpegang teguh kepada maqasid syariah. Menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga keturunan, menjaga harta dan menjaga akal merupakan indikasi untuk meraih kemenangan dalam hidup (falah). Senantiasa mengharap ridho Allah Subhanahu wa ta‟ala dalam segala aspek kehidupan yang dilakukan baik dalam bentuk ibadah yang bersifat hablu minallah (vertikal) maupun hablu minannaas muamalah (horizontal). Selain itu, dengan adanya fintech syariah ini juga sebagai upaya memudahkan setiap orang yang akan melakukan transaksi dan investasi berdasarkan prinsip syariah. Selain itu, terdapat beberapa poin penting yang menjadi kesimpulan dalam penelitian ini. Pertama, fatwa DSN MUI 117 yang membahas mengenai pembiayaan berbasis digital merupakan salah satu upaya bagi MUI dalam memberikan kepastihan hukum syariah kepada pelaku industri keuangan syariah berbasis digital. Aturan tersebut kemudian menjadi pedoman bagi para pelaku fintech syariah. Kedua, penulis menganggap bahwa fatwa DSN MUI 117 yang didalam nya juga membahas mekanisme dan akad layanan fintech syariah telah sesuai dengan maqhashid syariah. Karna pada implementasinya disana tidak ada potensi kerusakan yang akan terjadi pada pelaksanaanya dan sesuai dengan peraturan hukum positif dan juga hukum Islam.


DAFTAR PUSTAKA

A, K. (2013). Hukum Bisnis Syariah dalam Al-Qur'an. Jakarta: AMZAH
Dodi Yarli (2018), Jurnal Pemikiran hukum dan hukum islam. Analisis akad tijarah pada transaksi fintech syariah dengan pendekatan maqhasid.
Fatwa DSN MUI 117 Tentang layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi berdasarkan prinsip syariah
Prasetyoningsih, N. (2014). Jurnal Media Hukum. Dampak Pemilihan Umum Serentak Bagi Pembangunan Demokrasi Indonesia.
Shidik, S. (2016). Ushul Fiqh. Jakarta: PT INTIMEDIA CIPTA NUSANTARA
Zuhaili, W. a. (2010). Fiqh Islam Wa Adillatuhu 1. Jakarta: Gema Insani.