ANALISIS
FATWA DSN MUI NO: 117/DSN-MUI/II/2018 TENTANG LAYANAN PEMBIAYAAN BERBASIS
TEKNOLOGI INFORMASI BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH (FINTECH SYARIAH) DENGAN
PENDEKATAN MAQHASID
Muhammad
Robby Kaharudin
Nim:
1806022013
S2
Ekonomi Syariah UIN Raden Fatah Palembang
Abstract
Financial technology atau fintech
adalah industri keuagan yang saat ini sedang berkembang di masyarakat Indonesia.
Faktor tersebut didorong karena kondisi perkembangan digital didunia yang telah
masuk pada era Society 4.0. Financial technology memiliki kegiatan
yang berfokus pada penyediaan gagasan layanan keuangan menggunakan perangkat
lunak. Ini merupakan
inovasi baru dan dampaknya terhadap semua kegiatan ekonomi, terutama dalam
ekonomi Islam.
Adapun
Fintech Syariah, tentu saja harus
didasarkan pada perspektif Islam dan merujuk ke Maqashid Syari'ah dan berisi manfaat untuk setiap transaksi yang
dilakukan oleh kontraktor. Fatwa DSN MUI No: 117/DSN-MUI/II/2018 merupakan pedoman yang
diberikan pemerintah dalam upaya memberikan arahan kepada pelaku fintech dalam mengimplementasikan
kegiatannya. Semua bentuk transaksi ekonomi dan bisnis
yang berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah jelas, memperhatikan dan melindungi
hak-hak setiap individu untuk menegakkan keadilan dan menghilangkan
ketidakadilan dalam bertransaksi melalui fintech syariah.
Kata kunci: Fintech
Syariah, Maqashid Syari‟ah, DSN
MUI No:117
Pendahuluan
Era globalisasi yang semakin maju saat
ini, mempengaruhi banyak hal dari berbagai aspek kehidupan, baik dari aspek
teknologi, sosial, politik maupun ekonomi. Saat ini teknologi merupakan salah
satu aspek yang sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia banyak kemudahan
yang bisa di akses dengan menggunakan teknologi. Perkembangan teknologi
informasi tersebut merupakan peluang besar bagi seluruh industri keuangan dalam
melakukan inovasi demi menjaga eksistensi perusahaan.
Salah satu sektor industri keuangan yang saat
ini berkembang yaitu finansial technology
atau lebih dikenal dengan istilah fintech
yang merupakan inovasi terbaru masa kini. Menurut (IOSCO, 2017) Teknologi Finansial adalah bisnis yang berfokus pada
penyedia gagasan jasa finansial yang menggunakan perangkat lunak dan modern. Sedangkan
menurut (Wonglimpiyarat, 2017) Fintech telah mendapat perhatian secara
global sebagai teknologi menantang yang akan memberdayakan perusahaan untuk
bersaing dengan efektif pada abad dua puluh satu saat ini.
Fintech
berhasil merubah keberadaan suatu pasar yang sudah eksis dengan cara menawarkan
kepraktisan, kemudahan akses, kenyamanan, lebih efektif serta efisien dalam
melakukan transaksi. Pelayanan atau jasa
fintech diselenggarakan dengan serba
elektronik, sehingga bagi masyarakat yang sudah melek teknologi dan terbiasa
dengan alat-alat serba canggih serta di sisi lain memiliki aktivitas yang padat
akan terfasilitasi dengan adanya fintech.
Seiring perkembangan fintech saat ini, maka penerapannya
dalam fiqh muamalah menurut perspektif Islam harus sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah, yang terhindar dari Maysir,
Gharar dan Riba. Selain itu,
meskipun kegiatan tersebut menggunakan sistem teknologi maka prinsip-prinsip
hukum ekonomi Islam harus tetap ditegakkan. Demi menjaga keberlangsung Fintech agar sesuai dengan hukum ekonomi
Islam, DSN MUI (Dewan Syariah Nasional Majelis ulama indonesia) mengeluarkan FATWA
DSN MUI NO: 117/DSN-MUI/II/2018 TENTANG LAYANAN PEMBIAYAAN BERBASIS TEKNOLOGI
INFORMASI BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH.
Untuk itu, dalam penulisan ini penulis berupaya
untuk melakukan analisa terhadap Fatwa tersebut dengan menggunakan Pendekatan maqashid syariah dan ushul fiqh sebagai landasan utama dalam
menentukan ijtihad hukum pada industri keuangan fintech.
Pengertian
Fintech secara Umum dan Syariah
Pengertian finansial teknologi menurut
PwC (2017) fintech adalah segmen
dinamis di persimpangan antara sektor jasa keuangan dengan teknologi dimana start up yang berfokus pada teknologi
dan merupakan pendatang pasar baru berinovasi produk dan layanan yang saat ini
disediakan oleh industri jasa keuangan tradisional. Adapun pengertian lain dari
fintech mengacu pada penggunaan
teknologi untuk memberikan solusi dalam sektor keuangan (Arner, 2016) .
Pengertian Fintech Syariah menurut Mukhlisin (2017) adalah kombinasi,
inovasi yang ada dalam bidang keuangan
dan teknologi yang memudahkan proses transaksi dan investasi berdasarkan nilai-nilai
syariah. Ia berpendapat, walaupun fintech
ini merupakan terobosan baru tetapi mengalami perkembangan yang pesat. Islam
merupakan agama yang komprehensif sehingga dalam bidang keuangan ini harus
memiliki aturan yang sesuai dengan prinsipnya sesuai syariah.
Mekanisme dan akad layanan
pembiayaan berbasis teknologi informasi berdasarkan Fatwa DSN MUI No: 117/
DSN-MUI/II/2018
1. Pembiayaan Anjak Piutang
(Factoring)
a.
Adanya akad yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang yang ditunjukkan
dengan bukti tagihan (invoice) oleh
calon Penerima Pembiayaan dari pihak ketiga (payor)
yang menjadi dasar jasa dan/ataupembiayaan anjak piutang;
b.
Calon Penerima pembiayaan atas dasar bukti tagihan (invoice) yang dimiliki, mengajukan jasa dan/atau pembiayaan kepada
Penyelenggara;
c.
Penyelenggara menawarkan kepada calon Pemberi Pembiayaan untuk memberikan jasa
penagihan piutang berdasarkan bukti tagihan (invoice),
baik disertai atau tanpa disertai talangan (qardh);
d.
Dalam hal calon Pemberi jasa dan/atau pembiayaan menyetujui penawaran
sebagaimana huruf c, dilakukan akod wakalah bi alujrah antara Pemberi
Pembiayaan dengan Penyelenggara; Pemberi Pembiayaan sebagai muwakkil, dan
Penyelenggara sebagai wakil;
e.
Penyelenggara melakukan akad wakalah bi al-ujrah dengan Penerima Pembiayaan
untuk penagihan utang; Penyelanggara sebagai wakil, dan Penerima Pembiayaan
sebagai muwakkil;
f.
Penyelenggara sebagai wakil dari Pemberi Pembiayaar dapat memberikan talangan
dana dengan akad qardh kepada Penerima Pembiayaan/Jasa;
g.
Penyelenggara melakukan penagihan kepada pihak ketiga (payor) atas piutang
Penerima Pembiayaan;
h.
Penerima Pembiayaan membayar ujrah kepada Penyelenggara;
i.
Penerima pembiayaan membayar utang qardh fiika ada) kepada Penyelenggara
sebagai wakil;
j.
Penyelenggara wajib menyerahkan ujrah dan qardh (ika ada) kepada Pemberi
Pembiayaan.
2. Pembiayaan Pengadaan Barang
Pesanan (Purchase Orde) Pihak Ketiga
a.
Adanya akad yang menimbulkan hubungan purchase order yang dibuktikan dengan
kontrak pengadaan barang antara calon Penerima Pembiayaan dengan pihak ketiga
yang menjadi dasar pembiayaan;
b.
Calon Penerima pembiayaan atas dasar purchase order dari pihak ketiga,
mengajukan pembiayaan pengadaan barang kepada Penyelenggara;
c.
Atas dasar pengajuan pembiayaan sebagaimana huruf b, Penyelenggara melakukan
penawaran kepada calon Pemberi Pembiayaan untuk membiayai pengadaan barung;
d.
Dalam hal calon Pemberi Pembiayaan menyetujui penawaran sebagaimana huruf c,
dilakukan aknd wakalah bi al-ujrah antara Penyelenggara dengan Pemberi
Pembiayaan untuk melakukan akad pembiayaan kepada Penerima Pembiayaan; Pemberi
Pembiayaan sebagai mrwakkil dan Penyelenggara sebagai wakil;
e.
Penyelenggara melakukan pembiayaan dengan Penerima Pembiayaan berdasarkan akad
jual-beli, musyarakah, atan mudharabah.
f.
Penerima Pembiayaan membayar pokok dan imbal hasil (margin atau bagi hasil)
sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
g.
Penyelenggara wajib menyerahkan pokok dan imbal hasil (margin atau bagi hasil)
kepada Pemberi Pembiayaan.
3. Pembiayaan Pengadaan Barang
untuk Pelaku Usaha yang Berjualan Secara Online (Seller Online)
a.
Penyediaan layanan perdagangan berbasis teknologi informasi (platfurm e-commerce/marketplace) dan
Penyelenggara melakukan kerjasama pemberian pembiayaan kepada pelaku usaha yang
berjualan secara online (seller online)
sebagai calon Penerima Pembiayaan;
b.
Calon Penerima Pembiayaan mengajukan pembiayaan kepada Penyelenggara untuk
pengadaan barang;
c.
Atas dasar pengajuan pembiayaan pada huruf b, Penyelenggara melakukan penawaran
kepada calon Pemberi Pembiayaan untuk membiayai pengadaan barang;
d.
Dalam hal calon Pemberi Pembiayaan menyetujui penawaran sebagaimana huruf c,
dilakukan akad wakalah bi al-ujrah antara Penyelenggaru dengan Pemberi
Pembiayaan untuk melakukan akad pembiayaan dengan Penerima Pembiayaan; Pemberi
Pembiayaan sebagai muwakkil dan Penyelenggara sebagai wakil;
e.
Penyelenggara melakukan pembiayaan dengan Penerima Pembiayaan berdasarkan akad
jual-beli, musyarakah, atau mudharabah;
f.
Penerima Pembiayaan membayar pokok dan imbal hasil (margin atau bagi hasil)
sesuai dengan kesepakatan dalam akad; dan
g.
Penyelenggara wajib menyerahkan pokok dan imbal hasil (margin atau bagi hasil)
kepada Pemberi Pembiayaan.
4. Pembiayaan Pengadaan Barang
untuk Pelaku Usaha yang Berjualan Secara Online dengan Pembayaran Melalui
Penyeleng gara Payment Gateway
a.
Penyedia jasa otorisasi pembayaran secara online (payment gateway) dan Penyelenggara melakukan kerjasama pemberian
pembiayaan kepada para Pedagang online (Seller
Online) yang bekerjasama dengan Penyedia jasa;
b.
Pedagang online (Seller Online) atau
calon Penerima Pembiayaan mengajukan pembiayaan kepada Penyelenggara untuk
pengadaan barang;
c.
Atas dasar pengajuan pembiayaan pada huruf b, Penyelenggaru melakukan penawaran
kepada calon Pemberi Pembiayaan untuk membiayai pengadaan barang;
d.
Dalam hal calon Pemberi Pembiayaan menyetujui penawaran sebagaimana huruf c,
dilakukan akad wakalah bi al-ujrah
antara Penyelenggara dengan Pemberi Pembiayaan untuk melakukan akad pembiayaan
dengan Penerima Pembiayaan; Pemberi Pembiayaan sebagai muwakkil dan
Penyelenggara sebagai wakil;
e.
Penyelenggara sebagai wakil dari Pemberi Pembiayaan, memberikan pembiayaan
kepada Penerima Pembiayaan dengan meng gunakan akad jual- beli, musyarakah,
atau mudharabah ;
f.
Penerima pembiayaan membayar pokok dan imbal hasil (margin atau bagi hasil)
melalui Perusahaan Penyedia jasa otorisasi pembayaran secara online (payment
gateway) yang bekerjasama dengan Penyelenggara;
g.
Penyelenggara wajib menyerahkan pokok dan imbal hasil (margin atau bagi hasil)
kepada Pemberi Pembiayaan.
5. Pembiayaan untuk Pegawai
(Employee)
a.
Adanya pegawai/calon Penerima Pembiayaan yang mendapatkan gaji tetap dari suatu
institusi yang bekerjasama dengan Penyelenggara;
b.
Calon Penerima pembiayaan yang memiliki kebutuhan konsumtif, mengaj ukan
pembiayaan kepada Penyelenggara;
c.
Atas dasar pengajuan sebagaimana huruf b, Penyelenggara menawarkan kepada calon
Pemberi Pembiayaan untuk membiayai kebutuhan konsumtif calon Penerima Pembi ay
aan;
d.
Dalam hal calon Pemberi pembiayaan menyetujui penawaran sebagaimana huruf c,
dilakukan akadwokalah bi al-ujrah arfiara Pemberi Pembiayaan dengan
Penyelenggara untuk melakukan pembiayaan dengan Penerima Pembiayaan; Pemberi
Pembiayaan sebagai muwakkil, dan Penyelenggara sebagai wakil;
e.
Penyelenggara sebagai wakil dari Pemberi Pembiayaan, melakukan akad jual-beli
atau ijarah dengan Penerima Pembiayaan sesuai kesepakatan;
f.
Penerima Pembiayaan membayar pokok dan imbal hasil (margin atau ujrah) kepada
Penyelenggara dengan cara pemotongan gajilauto debet;
g.
Penyelenggara wajib menyerahkan pokok dan imbal hasil (margin atau ujrah)
kepada Pemberi Pembiayaan.
6. Pembiayaan Berbasis Komunitas (Community Based)
a.
Adanya pelaku usaha/calon Penerima Pembiayaan yang tergabung dalam komunitas
usaha tertentu yang bekerjasama dengan Penyelenggara;
b.
Calon Penerima Pembiayaan yang memiliki kebutuhan modal usaha, mengajukan
pembiayaan kepada Penyelenggara;
c.
Atas dasar pengajuan sebagaimana huruf b, Penyelenggara menawarkan kepada calon
Pemberi Pembiayaan untuk membiayai kebutuhan modal calon Penerima Pembiayaan;
d.
Dalam hal calon Pemberi Pembiayaan menyetujui penawaran sebagaimana huruf c,
dilakukan akadwakalah bi al-ujrah antara Pemberi Pembiayaan dengan
Penyelenggara untuk memberikan pembiayaan kepada Penerima Pembiayaan;
e.
Pemberi Pembiayaan sebagai muwakkil, dan Penyelenggara sebagai wakil. e.
Penyelenggara sebagai wakil dari Pemberi Pembiayaan, melakukan akad dengan
Penerima Pembiayaan baik akad jualbeli, ijarah, musyarakah, mudharabah, atau
akad-akad lain yang sesuai dengan prinsip syariah;
f.
Penerima pembiayaan membayar pokok dan imbal hasil (margin, ujrah, atau bagi
hasil) kepada Penyelenggara melalui komunitas usaha tertentu yang bekerjasama
dengan Penyelenggara;
g.
Penyelenggara wajib menyerahkan pokok dan imbal hasil (margin atau ujrah)
kepada Pemberi Pembiayaan.
Pengertian Maqhasid Syariah
Maqashid
adalah bentuk plural dari maqashad,
qasdh, maqashid atau qashud yang
merupakan derivasi dari kata kerja (qashada
yaqshidu) dengan beragam makna seperti menuju suatu arah, tujuan
tengah-tengah adil dan tidak melampaui
batas. Sementara itu, makna dari syari’ah
secara etimologis merupakan jalan menuju mata air, alam terminology fiqh
berarti hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah untuk hamba-Nya, baik yang
ditetapkan melalui Al-qur’an maupun Sunnah Nabi Muhammad shallahualaihi wa
sallam yang berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan Nabi. Adapun definisi
secara singkat dan umum, yang dikutip
dari buku karya Imam Mawardi dalam bukunya Fiqh Minoritas Fiqh Al- Aqaliyyat dan Evolusi
Maqashid Al-Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan, Al Rasyuni menyatakan bahwa
syari’ah bermakna sejumlah hukum ‘amaliyyah yang dibawa oleh agama Islam, baik
yang dibawa dalam konsepsi aqidah maupun hukumnya. Adapun dari variasi definisi
yang disebutkan oleh ulama klasik tersebut mengindikasikan bahwa terdapat
kaitan erat maqashid alsyari’ah
dengan hikmah, illat, tujuan atau
niat dan kemaslahatan. Imam al Ghazali merupakan salah satu ulama klasik yang
mendefinisikan bahwa “Maslahah adalah sebuah istilah yang pada
intinya merupakan keadaan yang mendatangkan manfaat dan menolak bahaya atau
kerugian. Yang kami maksudkan maqashid al-syari’ah sebenarnya bukan ini, karena
mendatangkan manfaat dan menolak kerugian adalah tujuan dari makhluk. Kebaikan
dari makhluk adalah menggapai tujuan-tujuannya. Yang kami maksudkan dengan
maslahah disini adalah menjaga tujuan syara’. Tujuan syara’ untuk maklhuk ada lima, yaitu menjaga agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta mereka”.
Salah satu kajian istimewa mengenai maqashid al-syari’ah sebagaimana yang
dikemukakan oleh al-Ghazali karena keberhasilannya menjabarkan aspek dharuriyyat menjadi aldharuriyyat al-khams, yang tanpanya maslahah dinyatakan tidak
ada. Ia merupakan orang pertama yang memberikan nama al-dharuriyyat alkhams, menjelaskan secara memadai dan menyusunnya
dengan urutan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta sebagai hal-hal yang
dilindungi oleh Islam. Kitabnya yang berjudul al-Mustasyfa fi „ilm al-Ushul menjelaskan tentang hal ini.
Penjelasannya yang lengkap mengenai konsep mashlahah dan prinsip-prinsip
teoritis hukum Islam, al-Ghazali dikukuhkan dalam sejarah ushul al-fiqh sebagai
peletak dasar ilmu ushul al- fiqh. Sementara itu al-Amidi merupakan orang
pertama yang menguji susunan al-dharuriyyat
al-khams tersebut dan mengambil “keturunan” sebelum “akal” seperti yang
ditulis dalam al-Ihkam fi ushul alAhkam. Selain menjaga agama, menjaga jiwa juga
merupakan hal yang harus diterapkan dalam transaksi ekonomi. Hal itu berarti
segala bentuk transaksi yang dapat menyakiti fisik dan psikis manusia harus
dihindari demi keselamatan jiwa manusia. Apabila hal tersebut mendatangkan
kemudharatan maka lebih baik ditinggalkan. Upaya demikian adalah sebagai bentuk
tanggung jawab terhadap menjaga jiwa (hifdz
an-nafs) yang dibebankan kepada setiap individu termasuk masyarakat.
Perintah menjaga jiwa telah Allah
tuliskan didalam Al-Qur’an bisnis tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama
lain karena peran penting tersebut demi tercapainya kemaslahatan. Nilai agama
yang terdapat dalam ekonomi yaitu dicerminkan dengan adanya halal dan haram
yang harus diperhatikan. Misalnya, akad tijarah adalah muamalah yang halal,
akad utang piutang dengan riba adalah muamalat yang haram. Akad yang pada dasarnya halal bisa menjadi haram
apabila dalam transaksi tersebut terdapat keharama seperti, mengandung
unsur-unsur penipuan, mengandung khamr, disini menetapkan yang terdapat dalam
QS.Al-Quraisy:3-4). “Maka hendaklah
mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini Ka’bah. Yang telah memberi makanan
kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”.
Tujuan pemeliharaan yang selanjutnya yaitu menjaga keturunan. Maksud dari
menjaga keturunan dalam hal ini yaitu menjaga generasi masa depan agar
senantiasa berkesinambungan. Upaya menjaga keturunan tersebut antara lain
sebagaimana terdapat dalam Hadits Rosulullah Shallalahu alaihi wa salam “Hampir saja kemiskinan (kemiskinan jiwa dan
hati) berubah menjadi kekufuran”. (HR.Ath-Thabrani)
“Dan
janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok
kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (QS.An-Nisa:5)
Orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya termasuk dalam golongan
orang yang belum sempurna akalnya sebagaimana orang yang belum baligh dan juga
anak kecil. Sehingga mereka tidak dapat mengelola harta bendanya dengan baik.
Dengan demikian, hukum mengatur semua itu dibingkai hifzh al-aql dalam ranah ekonomi syariah. Menjaga harta merupakan
kewajiban yang harus dilakukan oleh seseorang dalam mencapai maqasid syariah.
Memiliki harta berupa mobil, rumah dan perabotan rumah merupakan hak manusia
terhadap penjagaan terhadap harta. Sehingga dengan upaya menjaga harta tersebut
terdapat banyak cara dalam mendapatkannya. Adapun cara yang didapatkan tersebut
melalui cara halal ataupun haram. Harta dibagi dalam lima kategori sehingga
menjadikan hukum atas benda tersebut. Adapun harta yang diperoleh dengan jalan
yang halal serta dibelanjakan dijalan yang halal, maka harta tersebut harta
yang baik. Kedua harta tersebut diperoleh dengan jalan yang haram lalu
dibelanjakan dijalan yang haram juga maka itu termasuk seburukburuknya harta.
Ketiga, harta tersebut diperoleh dengan jalan yang haram dan dibelanjakan pada
jalan yang halal, maka harta tersebut termasuk dalam harta yang haram. Keempat,
harta tersebut diperoleh dengan jalan yang halal namun dibelanjakan pada jalan
yang haram, maka harta tersebut termasuk harta yang buruk. Kelima, harta
tersebut diperoleh dengan cara yang mubah dan dibelanjakan pada jalan yang
mubah pula, maka harta tersebut tidak tergolong dalam kategori baik atau buruk,
namun dari transaksi tersebut tidak menguntungkan ataupun tidak menimbulkan
dosa atasnya.
Fintech dan hubungannya dengan
Maqhosid Syariah
Implementasi yang dilakukan beberapa
Fintech konvensional pada awal tahun 2017 lalu, memberikan kesan negatif kepada
seluruh masyarakat indonesia terutama pada nasabah (debitur). Karna beberapa nasabah yang mengalami kredit macet, di
perlakukan tidak baik oleh beberapa fintech konvensional yang ada di indonesia.
Perlakuan buruk tersebut dilakukan oleh pihak fintech melalui cara-cara
penagihan hutang yang tidak wajar, mulai dari mempermalukan nasabah (debitur) dengan cara memberitakan
hutang nasabah kepada teman-teman nasabah di akun media sosial milik nasabah (debitur) sampai dengan cara
ancam-ancaman. Perlakukan tersebut sangat tidak wajar, karena telah
mempermalukan nasabah sehingga itu bisa disebut dengan perlakukan kekerasan
psikis kepada nasabah. Dalam Maqhosid Syariah salah satu pilar yang perlu dilarang
adalah cara-cara merusak jiwa (Hifzun
nafs) nasabah dengan cara-cara yang tidak wajar.
Latar belakang diatas lah pada akhirnya
membuat DSN MUI mengeluarkan Fatwa No:
117/DSN-MUI/II/2018 Tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi
Berdasarkan Prinsip Syariah. Fatwa tersebut mengatur semua mekanisme Fintech
yang kemudian menjadi pedmoman bagi lembaga fintech
syariah .
Transaksi yang sesuai dengan syariat
Islam tentunya yang berlandaskan dari Al-Qur’an dan Hadits. Segala bentuk
perekonomian dan transaksi bisnis menurut ajaran Islam yang bersumber dari
AlQur’an dan Sunnah adalah untuk memperhatikan hak individu yang harus
terlindungi sekaligus untuk menegakkan rasa solidaritas yang tinggi terhadap
masyarakat (A, 2013).
Pada dasarnya akad yang terdapat dalam fintech Syariah tidak bertentangan selagi
tidak melanggar prinsip syariah. Selain itu, fintech merujuk kepada salah satu
asas muamalah yaitu an-taradhin yang
memiliki arti saling ridho diantara keduanya. Asas inilah yang menjadi bagian
terpenting atas sah nya suatu transaksi (Darsono dkk, 2016).
Menurut Aswad (2013) lembaga keuangan
syariah yang mana harus mendasasi operasionalnya dengan prinsip syariah
terhadap larangan atas riba, gharar dan maysir sehingga lebih menggiatkan kepada sistem bagi hasil (profit and lose sharing) sebagai
penggantinya. Para pakar muslim sudah banyak yang menjelaskan bahwa landasan
bunga (interest) sangat dilarang
karena dapat menimbulkan terjadinya ketidakadilan (injustice) dalam tatanan ekonomi masyarakat. Sebaliknya, lembaga
ekonomi syariah secara konsepsional didasarkan atas prinsip kemitraan
berdasarkan kesetaraan (equity),
keadilan (fairness), kejujuran (transparan), dan hanya mencari
keuntungan yang halal semata (falah
oriented).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan ini, dapat
disimpulkan bahwa dengan menggunakan fintech
yang berbasis syariah yang juga merupakan inovasi teknologi yang sesuai dengan
ketentuan syariah serta menjadi solusi untuk dapat terhidar dari transaksi
ribawi. Mengaplikasikan fintech syariah ini merupakan suatu tindakan bahwa kita
sebagai umat Islam harus berpegang teguh kepada maqasid syariah. Menjaga agama,
menjaga jiwa, menjaga keturunan, menjaga harta dan menjaga akal merupakan
indikasi untuk meraih kemenangan dalam hidup (falah). Senantiasa mengharap ridho Allah Subhanahu wa ta‟ala dalam
segala aspek kehidupan yang dilakukan baik dalam bentuk ibadah yang bersifat
hablu minallah (vertikal) maupun hablu minannaas muamalah (horizontal). Selain
itu, dengan adanya fintech syariah ini juga sebagai upaya memudahkan setiap
orang yang akan melakukan transaksi dan investasi berdasarkan prinsip syariah.
Selain itu, terdapat beberapa poin penting yang menjadi kesimpulan dalam
penelitian ini. Pertama, fatwa DSN MUI 117 yang membahas mengenai pembiayaan
berbasis digital merupakan salah satu upaya bagi MUI dalam memberikan
kepastihan hukum syariah kepada pelaku industri keuangan syariah berbasis
digital. Aturan tersebut kemudian menjadi pedoman bagi para pelaku fintech
syariah. Kedua, penulis menganggap bahwa fatwa DSN MUI 117 yang didalam nya
juga membahas mekanisme dan akad layanan fintech syariah telah sesuai dengan
maqhashid syariah. Karna pada implementasinya disana tidak ada potensi
kerusakan yang akan terjadi pada pelaksanaanya dan sesuai dengan peraturan
hukum positif dan juga hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
A,
K. (2013). Hukum Bisnis Syariah dalam
Al-Qur'an. Jakarta: AMZAH
Dodi Yarli (2018), Jurnal Pemikiran
hukum dan hukum islam. Analisis akad
tijarah pada transaksi fintech syariah dengan pendekatan maqhasid.
Fatwa DSN MUI 117 Tentang layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi berdasarkan
prinsip syariah
Prasetyoningsih, N. (2014). Jurnal Media
Hukum. Dampak Pemilihan Umum Serentak
Bagi Pembangunan Demokrasi Indonesia.
Shidik,
S. (2016). Ushul Fiqh. Jakarta: PT
INTIMEDIA CIPTA NUSANTARA
Zuhaili,
W. a. (2010). Fiqh Islam Wa Adillatuhu 1. Jakarta: Gema Insani.